:strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/2126870/original/045656600_1524905162-20180428-Sembako-Gretong-AM6.jpg)
Liputan6.com, Jakarta - Saat itu, Djunaidi berjalan menembus ribuan orang yang hadir di acara bagi sembako di Monas, Sabtu 28 April 2018. Hatinya was-was lantaran tak tahu keberadaan sang anak Mahesa Junaidi yang nekat datang ke acara tersebut bersama temannya.
Belum juga bertemu dengan bocah 13 tahun itu, Djunaidi kaget karena sepeda motor yang diparkirnya di sekitaran Gambir, Jakarta Pusat, hilang.
Namun, pikirannya hanya ada pertanyaan, "Ada di mana Mahesa?"
"Kendaraan sudah tidak ada saya cari ke parkiran saya keliling parkir mungkin ada yang geser saya tanya petugas itu sudah ganti piket dia bilang enggak tahu, ya sudah saya pikir udah ilanglah yang penting anak saya ketemu," kata Djunaidi di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu 5 Mei 2018.
Mungkin firasat, dia, istri dan keponakannya tetap tak tenang dan memutuskan menunggu di Monas. Setelah beristirahat sejenak sembari berpikir, Djunaidi bertanya ke petugas tentang anaknya yang hilang. Dia pun diminta untuk menunggu.
"Sekitar jam 9 lebih, dia kasih kabar saya, 'Pak, bapak masih di Monas?' Saya bilang masih. Sabar pak ya, tunggu situ nanti saya jemput. Tadi ada petugas Satpol PP dia bilang menemukan anak, dengan ciri-ciri besar rambut keriting," ujar Djunaidi.
Satu jam kemudian, petugas menjemputnya dan diantar ke Rumah Sakit Tarakan. Dia melihat rumah sakit itu sudah ramai oleh polisi dan petugas rumah sakit. Saat itulah, dia diizinkan bertemu putranya dan diberi tahu tentang kondisinya.
Kepadanya, dokter menyatakan Mahesa meninggal dunia karena mengalami pecah pembuluh darah dan dehidrasi tinggi.
Dia mengatakan, sebelum meninggal, putranya mengeluarkan darah dan kejang-kejang. Mahesa meninggal pukul 19.40 WIB, Sabtu, 28 April 2018, di Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat, setelah pembagian sembako di Monas.
"Sudah tidak sadarkan diri, kejang-kejang terus, pukul 19.40 anak saya sudah tidak ada. Dokter kasih tahu saya, anak saya sudah tidak ada jam sekian. Untuk darah itu, pembuluh darah pecah, dehidrasi terlalu tinggi," kata Djunaidi.
Menurut dia, polisi sempat menawarkan, anaknya mau diautopsi atau tidak. Namun, dia menolak. Sebab, dia mengaku sudah ikhlas lahir dan batin anaknya meninggal di tengah pembagian sembako di Monas.
"Dari situ saya ditanya sama polisi? Apa anak bapak mau dilanjutkan autopsi atau tidak? Saya bilang enggak, saya buat pernyataan menolak untuk autopsi juga," ucap Djunaidi.
"Kalau saya sebagai orangtua serta istri dan keluarga besar sudah mengikhlaskan. Mungkin ini sudah jalan Allah, sudah jalannya, saya ikhlas," lanjut dia.
https://www.liputan6.com/news/read/3503889/cerita-pilu-orangtua-korban-sembako-maut-di-monasBagikan Berita Ini
0 Response to "Cerita Pilu Orangtua Korban Sembako Maut di Monas"
Post a Comment