Konser K-pop di Pyongyang adalah bagian dari upaya dua Korea untuk meredakan ketegangan di Semenanjung. Sebelumnya, Korsel dan Korut berparade bersama di Olimpiade Musim Dingin PyeongChang, di bawah nangan bendera unifikasi.
Seoul dan Pyongyang direncanakan akan mengadakan pertemuan tingkat tinggi pada 27 April, dilanjutkan dengan pembicaraan Korea Utara dengan AS mengenai denuklirisasi sebelum akhir Mei. Kim Jong-un dikabarkan akan duduk bersama Donald Trump.
Pada hari yang sama saat konser K-pop di Pyongyang, AS dan Korsel dikabarkan tengah memulai latihan militer tahunan bersandi Foal Eagle -- yang akan berlangsung selama empat pekan, lebih pendek dari durasi tahun-tahun sebelumnya.
Latihan militer semacam itu telah lama memicu kemarahan Kim Jong-un -- seperti yang ditunjukkan pada situasi tahun lalu. Namun, sampai saat ini, retorika penuh amarah terkait latihan Foal Eagle itu tak mencuat dari sang pemimpin Korea Utara.
Apakah berarti penampilan delegasi K-pop itu memantik secercah harapan tentang dinamika diplomasi positif di Semenanjung Korea untuk waktu-waktu ke depan?
Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional Universitas Padjajaran menggarisbawahi nuansa positif dari perhelatan konser K-pop Korea Selatan di Pyongyang pada 1 dan 3 April 2018.
"Itu menunjukkan sikap keterbukaan Korea Utara dan pemimpinnya saat ini, Kim Jong-un. Ia ingin memberikan kesan bahwa dirinya dan negaranya adalah sosok yang terbuka serta menerima budaya dari Korea Selatan," kata Teuku saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 3 April 2018.
Pria yang turut mendirikan Centre for Internasional Relations Studies (CIRS) itu juga menjelaskan bahwa langkah Kim untuk mengizinkan perhelatan semacam itu terselenggara di Pyongyang memiliki mengandung sejumlah pesan-pesan tersendiri.
Kata Teuku, perhelatan itu menjadi cara bagi Korea Utara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa strategi diplomasi luar negeri yang dilakukan saat ini sudah melunak dan mencair jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Hal itu juga menunjukkan perubahan strategi kebijakan diplomatik Korea Utara untuk jangka panjang. Mereka tampak tak ingin lagi menunjukkan sikap agresif lewat senjata rudal dan nuklir, karena jelas, mereka kalah untuk aspek-aspek itu. Tapi dengan seni-budaya dan hal-hal yang bersifat pasifisme, bisa lain lagi dampaknya, dan justru akan memberikan keuntungan tersendiri bagi Korea Utara," lanjut Teuku.
Menarik simpati dunia juga diduga jadi alasan di balik perubahan sikap Kim Jong-un yang dramatis.
"Strategi itu bersifat psikologi-politik. Korea Utara ingin menanamkan rasa simpati kepada dunia, bahwa kini, mereka menjadi rezim yang realistis dan terbuka untuk bentuk-bentuk diplomasi lain dari komunitas internasional," kata Teuku.
Rasa simpati yang tertanam di negara-negara asing nantinya akan berdampak pada cara mereka dalam melakukan diplomasi untuk menangani isu di Semenanjung Korea dan Korea Utara sendiri.
Mungkin nantinya, melihat kesuksesan Korea Selatan dalam melakukan diplomasi budaya, negara lain akan menawarkan 'paket diplomasi' serupa atau yang sifatnya non-agresif ketika menghadapi Korea Utara, kata pendiri CIRS itu.
Konser K-Pop itu juga bisa menjadi bukti bahwa Korea Utara dan Korea Selatan tampak bersiap untuk melakukan reunifikasi, meski hal itu masih jauh di ufuk.
"Jauh, sangat jauh. Tapi, perhelatan semacam itu bisa menjadi sebuah pra-kondisi jangka panjang untuk mengarah ke sana. Meski hal itu cenderung susah dan berat ya, karena baik Utara dan Selatan sama-sama punya proyeksi mengenai unifikasi Korea ke depannya."
Namun, di balik itu semua, Teuku Rezasyah mengatakan bahwa dunia patut kritis dalam menyikapi perubahan sikap Kim Jong-un dan Korea Utara yang lebih mencair serta terbuka dalam beberapa pekan terakhir.
"Kewaspadaan perlu. Ada kemungkinan juga dengan langkah-langkah itu, Korea Utara punya agenda di balik layar yang tak terungkap oleh dunia."
Penanaman simpati misalnya, bisa saja hal itu berupa kedok atau strategi agar Korea Utara mampu mendapatkan daya dongkrak politis yang lebih menguntungkan kala berdiplomasi dengan negara lain.
"Bisa saja dengan hal seperti itu, mereka mampu tetap mempertahankan persenjataan rudal dan nuklir meski tengah melakukan proses dialog damai," ujar dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran itu.
Pendapat Sang Pembelot
Lee Hyeon-seo adalah pembelot asal Korea Utara yang terkemuka. Penulis buku "The Girl with Seven Names", autobiografinya, itu pernah bertatap muka dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Menurut dia, mengatakan, hadirnya Kim Jong-un dalam konser K-pop adalah sebuah perubahan besar.
"Ada cerita dari kampung halamanku, di mana seorang pria diinterogasi gara-gara menonton drama Korsel dan ia terbunuh saat diperiksa aparat yang berperilaku brutal," kata dia.
Meski demikian, menurut Lee, hukuman yang diberlakukan tak ajeg. "Tergantung situasinya. Ada saat ketika rezim ingin memberikan pelajaran, dengan mengeksekusi mereka yang tertangkap. Namun pada situasi normal, sanksinya ringan, misalnya dengan membayar denda," tambah dia, seperti dikutip Asia Times.
Lee meragukan bahwa konser K-pop di Pyongyang menunjukkan perubahan kebijakan Korut terhadap Korsel.
"Itu hanyalah salah satu pertunjukan, acara resmi yang digelar oleh pemerintah," katanya. "Selain itu, tidak ada yang akan berubah sama sekali."
Sementara itu, Casey Lartigue Junior, salah satu pendiri Teach North Korean Refugees Global Education Center berpendapat, apa yang terjadi menunjukkan posisi Kim Jong-un yang luar biasa.
"Di negaranya, ia bisa melanggar aturannya sendiri," kata dia.
http://www.liputan6.com/global/read/3424763/headline-kim-jong-un-dan-k-pop-sinyal-damai-atau-taktik-belakaBagikan Berita Ini
0 Response to "HEADLINE: Kim Jong-un dan K-pop, Sinyal Damai atau Taktik Belaka?"
Post a Comment