Selain Calung dan Krumpyung, para guru seni se-Purbalingga juga dikenalkan dengan Kesenian Angguk. Ciri-ciri seni Angguk adalah gerakan penari berkarakter anggukan dengan diiringi suara rebana, beduk, dan kendang.
Angguk kental dengan nuansa Islam. Syair-syair yang dilantunkan diambil dari kitab Barzanji. Konon, anggukan dalam tarian itu berasal dari bentuk penghormatan kaum muslim saat saling bertemu.
Para guru yang hafal dengan shawalat Barzanji lirih-lirih ikut berdendang. Rampaknya tarian, syair, dan tabuhan rebana memaksa para guru ikut menghentakkan kaki dan mengetuk jari.
Untuk menjaga keberlangsungan kesenian khas Banyumasan itu, Pemerintah Kabupaten Purbalingga, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) bersengkuyung merevitalisasi kesenial lokal yang hampir punah. Salah satunya dengan membangun wadah Sanggar Citra Budaya sejak 2013.
"Dulu banyak desa-desa yang menradisikan seni ini dalam pementasan, tetapi sekarang sudah langka karena tidak ada regenerasi," kata Kepala Seksi Kesenian dan Nilai Tradisi, Dindikbud Purbalingga, Rien Anggraeni Setya.
Selanjutnya, tahun ini Pemkab berencana menggelar kegiatan apresiasi seni dan budaya untuk 18 kecamatan. Apresiasi seni didorong dengan pengadaan gamelan untuk seluruh Kecamatan.
"Minimal ada 18 kali pertunjukan wayang kulit dan jika memungkinkan ada dua kali pementasan dalam satu bulan," kata Subeno, Plt Kepala Dindikbud Purbalingga.
Dindikbud juga telah berkoordinasi dengan seluruh sekolah di Purbalingga agar berkontribusi mengembangkan seni budaya. Subeno mempersilahkan para guru untuk menyampaikan usulan, ide kreatif, dan pemikiran-pemikiran positif dalam rangka pengembangan budaya pada 2019.
"Satu hal yang pasti, setiap tahun kami akan melaksanakan revitalisasi seni, dan tahun ini adalah revitalisasi kesenian angguk," katanya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sentuhan Seniman Jepang dalam Seni Banyumasan yang Nyaris Punah"
Post a Comment